Foto sebuah salib di pergelangan tangan/Dokumen pribadi |
SALIB KEHIDUPAN
oleh Br. Gerardus Weruin, MTB
Kita kerap kali melihat salib di gereja, kapel, rumah, atau kuburan. Kita juga sering mendengar orang berbicara tentang salib. Ada orang suka memakai salib yang digantungkan di leher, mobil atau kunci. Bahkan ketika hendak berdoa, kita membuat tanda salib. Salib tidak lagi menjadi suatu yang menakutkan, penghinaan, tetapi ada daya tarik yang memikat kita dan membahagiakan. Itulah salib Tuhan kita Yesus Kristus yang mengajak kita untuk berani memeluk dan memanggulnya.
Tidak semua salib kehidupan yang peluk dan panggul ini dinamakan Salib Yesus. Salib kehidupan Yesus itu sangat jelas. Yesus mengusahakan dan memperjuangkan dan menciptakan suasana hidup yang damai, baik, benar dan adil sesuai kehendak Allah Bapa. Akan tetapi manusia menghalangi, meremehkan, mencela, menghina, menolak, mengusir bahkan membunuhNya sampai mati. Walaupun demikian Yesus tidak putus asa, putus harapan dan menyerah, Yesus tetap optimis, berani maju bersaksi dan setia bertanggungjawab atas misi perutusan Bapa, yakni melaksanakan kehendak BapaNya. Penyerahan dan pengorbanan diriNya sebagai konsekuensi dari salib demi keselamatan dunia dan suasana hidup yang lebih baik, benar, adil dan damai. Salib kehidupan Yesus mempertegas Kehendak Allah supaya kerajaan Allah hadir dan ada di tengah - tengah dunia.
Kadang - kadang kita menyamakan salib kehidupan kita dengan salib Yesus. Tanpa refleksi dan mawas diri spontan kita mengatakan beban hidup, penderitaan, kesusahan, kesakitan, dukacita dan maut dalam hidup ini disamakan dengan salib Yesus. Mengapa kita ditolak, dihina, diremehkan, dicela, tidak didengar, dipercaya, dihargai, dan tidak memperhitungkan lagi? Pengalaman ini kerapkali mendatangkan konflik dan masalah dalam hidup bersama sehingga ada sengketa, pertengkaran, dan perang akhirnya hidup tidak terasa nyaman, enak, berbeban berat, loyo, putus asa, menyerah, putus harapan dan hidup segan - mati tak mau. Pantaskah pengalaman hidup ini dikatakan sebagai konsekuensi dari memeluk dan memanggul salib bersama Yesus? Tidak. Itu salib buatan kita manusia sendiri yang gagal paham akan Kehendak dan Kerajaan Allah.
Santu Yakobus menunjukkan konflik - konflik, masalah - masalah, sengketa, pertengkaran dalam hidup ini datangnya dari hawa nafsu, hasrat, dan keinginan dalam tubuh kita yang tidak dikendalikan. Kita menginginkan sesuatu, tetapi tidak memperolehnya lalu kita membunuh. Kita iri hati tetapi tidak mencapai tujuan lalu bertengkar dan berkelahi. Kita tidak memperoleh apa - apa karena kita tidak berdoa atau salah berdoa sebab yang kita minta untuk memuaskan hawa nafsu (Yakobus, 4.1-3). Penderitaan yang timbul dari hawa nafsu, hasrat, dan keinginan menunjukkan bahwa kita masih bersahabat dengan dunia, sehingga itu musuh Allah. Penderitaan karena bersahabat dengan dunia bukanlah salib kehidupan misi Yesus.
Ada banyak kesusahan, penderitaan yang bukan merupakan salib dari misi Yesus, sehingga kita harus menghindari dan mengatasi dengan sungguh - sungguh dan bijaksana. Inilah realitas kejahatan yang hanya dapat dihadapi dengan salib Yesus. Yang kita terima dan panggul sebagai salib Yesus berarti bersama Yesus kita mengusahakan dan memperjuangkan kebaikan karena kebaikan yang ilahi menunjukkan jalan kebenaran dan keadilan, dan membawa kegembiraan, sukacita, damai sejahtera. Pendek kata, kita melaksanakan Kehendak Allah dan menghadirkan Kerajaan Allah, tetapi semuanya itu ditolak, dicela, diremehkan, digosipkan dan sebagainya. Akan tetapi, kita tetap setia, optimis, inisiatif dan kreatif mengupayakan terus menerus akan kebaikan, kebenaran, dan keadilan dengan jiwa yang riang gembira, sukacita, penuh semangat dan harapan. Berbahagialah kamu, jika karena AKU, kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat (Mat, 5.11). Ciri inilah yang menandakan bahwa kita memeluk dan memanggul salib bersama Yesus, sehingga ada kebangkitan dan keselamatan menjadi hidup dan ciptaan baru.
Sebagian kita belum mampu memeluk dan memanggul salib bersama Yesus. Karena itu, janganlah kita bermegah. Berulang kali para murid dan kita juga gagal memahami akan penderitaan salib Anak Manusia (Kehendak Allah), maka Yesus menegur bahkan marah karena cara berpikir yang manusiawi bukan yang dipikirkan Allah. Cara berpikir dan Kehendak Allah adalah rendah hati untuk melayani dan terlibat aktif menciptakan dan mewujudkan kebaikan, kebenaran, keadilan dalam hidup bersama. Itu semua selalu menjadi musuh kejahatan. Tugas misionaris menampakkan kebaikan, kebenaran, keadilan dan sukacita di tengah dunia yang penuh kejahatan ini.
Tugas itu memang berat. Akan tetapi, mari kita belajar dari Bapa Santo Fransiskus Asisi yang sangat mengagumi dan merangkul salib Yesus, sehingga mendapat stigmata. Sebuah kontemplasi yang mendalam, sehingga ia mendapat luka - luka Yesus pada tubuhnya. Santo Paulus menegaskan sekali - kali tidak mau bermegah, selain dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus; bukan soal sunat atau tidak bersunat lagi melainkan menjadi manusia ciptaan baru. Untuk itu, semua orang memberi dirinya dipimpin oleh patokan Salib Yesus, sehingga turunlah damai sejahtera dan rahmat atas mereka kepunyaan Allah. Jangan lagi ada orang yang bermegah, menonjolkan diri, dan saling menyusahkan karena pada tubuh kita ada tanda - tanda milik Yesus (Galatia, 6 : 14-17). Mari saudara - saudara teruslah melangkah selama saudara di jalan yang baik, benar dan adil demi keutuhan ciptaan. Meskipun terkadang upaya kebaikan, kebenaran, dan keadilan itu senantiasa tidak dihargai dan diperhitungkan. "Hidup bukanlah soal siapa yang terbaik melainkan siapa yang mau melakukan kebaikan, kebenaran dan keadilan".
Semoga.
*disadur dari Majalah Pratikami edisi XXXIX - Tahun 2018
Komentar
Posting Komentar