NOGO GUNUN EMA HINGI – WAHA ALENG TELUMA BURAK

 

NOGO GUNUN EMA HINGI – WAHA ALENG TELUMA BURAK
(Legenda Dewi Padi - Lamaholot)
 
 
 
    Di Tana Wato Mae Belan Burak, hiduplah dua orang bersaudara; Pandosi Kaun`g Ale dan saudari perempuannya Nogo Gunun Ema Hingi. Orangtua mereka sudah meninggal Ketika keduanya masih kecil. Pandosi bekerja di ladang dan menyadap lontar sedangkan Nogo Ema menenun dan mengurus rumah. Pandosi diwariskan oleh ayah mereka sebuah alat musik reba yang tidak dimiliki oleh sewilayahnya.
 
    Pada suatu hari ketika Nogo Ema sedang memainkan reba, tiba-tiba tali reba putus. Pandosi yang mengetahui hal itu menjadi marah. Nogo Ema yang merasa bersalah, akhirnya memutuskan untuk pergi mengembara mencari reba penggantinya.
Bertahun-tahun mengembara, tibalah Nogo Ema di gunung Kasarua di Lewo Pigan Makok, kampung halaman orang Suku Demon Pagong.
Setibanya di Demong Pagong, orang dari suku tersebut telah meninggalkan negerinya karena bencana kelaparan yang menimpa wilayah itu. Nogo Ema kemudian menyusul Suku Demon Pagong ke tempat persinggahan baru mereka. Di sana ia melihat reba milik Suku Demong Pagong sangat mirip dengan milik Pandosi. Nogo Emapun meminta untuk memainkan reba tersebut.
Pemimpin Suku Demon Pagong sangat terpukau akan kelincahan Nogo Ema ketika memainkan reba tersebut. Setelah puas memainkan, Nogo Ema memohon kepada Kepala Suku tersebut agar sudi kiranya memberi reba tersebut kepadanya. Permintaan tersebut dikabulkan dan reba kemudian diberikan dengan ikhlas padanya. Setelah berjanji kepada Suku Demon Pagong bahwa dia akan membantu mengatasi bencana kelaparan yang menimpa wilayah tersebut, akhirnya Nogo Emapun pamit meninggalkan mereka.
 
    Setibanya di kampung halaman, Pandosi menyambutnya dengan gembira. Pandosi benar-benar menyesali apa yang sudah diperbuatnya. Keduanya hidup dengan bahagia.
Namun, kebahagiaan yang mereka rasakan, tidak berlangsung lama.
Suatu malam setelah selesai makan, Nogo Ema menceritakan pada Pandosi tentang keadaan Suku Demon Pagong yang mengalami bencana kelaparan dan sangat mengharapkan bantuannya. Pandosi yang mendengar cerita tersebut sangat sedih.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta, Nogo Ema meninggalkan Pandosi dan pergi menepati janjinya pada Suku Demon Pagong. Setibanya di sana, Nogo Ema mengajarkan Suku Demon Pagong tentang tata cara bertani dan membuka hutan. Sesudah itu Nogo Ema meminta mereka membangun sebuah pondok kecil di tengah-tengah kebun induk. Setelah hujan mulai turun dan membasahi area kebun, Nogo Ema mengajak keempat Suku Demon Pagong : Sri Lanang, Nuho Rehing, Kasarua dan Mie Pati ke area kebun. Setiba di sana, Nogo Ema berkata kepada keempat Kepala Suku tersebut, “ Sekarang, penggallah kepalaku – bunuhlah aku”.
 
    Mendengar permintaan tersebut, keempat Kepala Suku menolak. Nogo Ema kemudian berjalan ke tengah-tengah kebun sambil berkata :
“Jika kamu tidak melaksanakannya, kalian akan tetap menderita kelaparan. Keturunanmu akan punah di tempat ini. Namun jika kamu melaksanakannya, kalian tidak akan menderita kelaparan lagi sampai anak dan keturunanmu. Aku akan menuntun perjalanan dan mengunjungi kamu sampai ke daerah baru yang kamu tempati. Berilah namaku kepada seluruh keturunan anak perempuanmu.
 
Saya, NOGO GUNUN EMA HINGI – WAHA ALENG TELUMA BURAK, yang mengalami penderitaan hebat dan sudah diselamatkan kamu. Kini biarkanlah saya meninggal - mati untuk bangsamu. Sekarang, penggalkan kepalaku – bunuhlah aku”.
Sesudah berkata demikian, Nogo Ema menyerahkan diri kepada keempat pemimpin itu.
Parang kemudian ditebas – Nogo Ema pun terbelah. Dicincangnya semua tubuh dan ditaburi ke seluruh area kebun.
~
    Tujuh haripun berlalu. Sesuai janjinya, semua area kebun dari Suku Demon Pagong telah dipenuhi dengan padi dan jagung. Padi adalah daging dan jagung adalah giginya.
Nogo Ema yang sudah menjelma, kini hidup dan mengunjungi seluruh Suku Demon Pagong di manapun tempat yang mereka singgahi.
 
    Ketika mengunjungi Desa Lewotala, Nogo Ema bertemu dengan Boki Bisu dan mengandung anaknya. Nogo Ema kemudian melarikan diri ke Leworahang dan kemudian ke Tanjung Bunga.
Boki Bisu menyusul mencarinya tetapi tidak bertemu. Ketika melewati area ladang di Waiklibang, dia memetik sebutir padi dan mengupasnya. Ketika melihat beras berwarna putih, Boki Bisu berkata,”Kalau padi ini wujud anakku, maka puntung api ini akan menghanguskan kayu dan padi. Tetapi jika bukan anakku, api tidak akan menghanguskannya”.
 
    Sesudah berkata demikian, Boki Bisu kembali ke Lewotala. Setibanya di sana, dari atas bukit, dia melihat area ladang di Desa Waiklibang sudah terbakar.
Menurut cerita Desa Leworok, Nogo Ema menghabiskan masa tua dan meninggal di Desa LamanabiSedangkan anaknya Bongi Burak, hasil perkawinannya dengan Boki Bisu setelah kebakaran yang menimpa desa Waiklibang melarikan dirinya ke Bajawa, tepatnya di Desa Watonara sekarang. Nogo Ema sempat mengembara ke desa-desa Kecamatan Wulanggitan bagian barat, bahkan sampai ke Solor Barat – Tanah Lein. Kini tempat yang dikunjungi Nogo Ema, berasnya warna merah dan yang dikunjungi Bongi Burak berasnya warna putih.
 
    Tempat yang dikunjungi oleh Nogo Ema dan Bongi Burak dipercaya sebagai tempat keramat (suci). Tradisi dan ritual penghormatan terhadap padi hingga kini masih dipertahankan dan dijalankan oleh tetua adat dan masyarakat daerah tersebut karena menurut kepercayaannya bahwa ketika ritual penghormatan kepada Nogo Ema dijalankan dengan baik, maka hasil panen akan melimpah.
[]
 
*Re-produksi : Seran Goran
 Dokumentasi : Bidang Kebudayaan Kabupaten Flores Timur

Komentar