Tonu Wujo

Foto : Festival Nubun Tawa


Pengorbanan adalah keputusan final setelah tidak ada pilihan lain yang bisa kita pilih untuk mentransformasikan hidup. Lebih jauh tentang pengorbanan bisa kita  dengar atau pelajari dari pendahulu kita.
Sama seperti orang Lamaholot umumya, sayapun telah mendengar kisah pengorbanan seorang Tonu Wujo (Seorang perempuan yang menjadi cikal – bakal padi) dalam mitos Lamaholot :
Dengarkanlah pesanku! Dan setelah itu lakukanlah.
Janganlah kalian (kepada 7 saudaranya) takut, sebab inilah kehendak Yang Maha Kuasa, “Penggalah kepalaku dan jika jiwaku sudah melayang, biarkanlah darahku membasahi batu yang kududuk. Biarkanlah darahku mengalir, membasahi kebun. Setelah itu pulanglah. Kalian akan datang kembali setelah 6 hari kemudian! 

Saya kembali termenung dan mencoba masuk dalam alam pikiran Tonu Wujo. Bencana kelaparan yang melanda wilayah Lamaholot saat itu, memberikan semacam ujian atau perintah untuk segera mengambil keputusan apabila menginginkan kehidupan tidak segera usai. Kemarau panjang seperti garis pemisah  yang akan memisahkan anak manusia dari kehidupan, mesti segera disatukan kembali melalui darah yang membasahi seluruh kebun. Tidak ada pilihan lain (final).
Cerita serupapun dialami oleh Ismail, putera dari Bapa Kaum Monoteis. Agama Ibrahimi. 
***
“Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelimu. Maka pikirkanlah pendapatmu! (Ash-Shaffaat 102)
Tanpa keraguan sedikitpun! Penyerahan diri kepada Allah secara total adalah taruhan dalam menjawab mimpi Abraham.
“Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyah Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang – orang yang sabar.” (Ash-Shaffaat 102) 
Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayahku mengikatku kuat – kuat agar aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah. Agar menanggalkan pakaianku agar tidak mengenai darah yang menyebabkan berkurangnya pahalaku. Demikianlah penggalan permintaan Ismail sebelum terpenggal kepala dari badannya.[]

***
Sebagaimana kisah Tonu Wujo dengan garis pemisahnya adalah bencana kekeringan atau kelaparan, dan Ismail sebagai jawaban mimpi Abraham. Alkitabpun mencatat bagaimana Nuh mempertahankan kehidupan akibat air yang melanda secara destruktif sebagai hukuman atas keangkuhan manusia. Nuh diceritakan dalam Alkitabpun segera membuat pilihan agar kehidupan segera ditransformasikan. Nuh akhirnya membuat semacam penghubung. Bahtera yang sudah dibuat, segera diisi dengan bibit – bibit tanaman, tidak ketingggalan ternak yang jantan dan betinapun dimuat agar kehidupan tidak segera usai. 
***
Dan kehidupan itupun diselamatkan. Kehidupan yang lama akan segera diganti dengan kehidupan yang baru. Meskipun bibit kehidupan baru berasal dari kehidupan yang lama. Inilah sebuah takdir bahwa manusia diberikan dengan keterbatasan usia. Manusia makluk yang terbatas. Kehidupan yang serba angkuh dan sombong mesti segera berakhir. Mereka yang akan melanjutkan kehidupan adalah manusia yang telah mengalami proses seleksi.
 ***
Tema tentang pengorbanan kembali kita temukan dalam Alkitab Perjanjian Baru. Yesus yang ditulis dalam buku “Sejenak Memandang Manusia Kain Kafan” sudah memberi saya pemikiran baru.
Misteri yang hampir mungkin tidak terpecahkan adalah hadirnya seorang manusia tanpa manusia lama membenih. Tidak seperti Nuh yang ketakutkan akan kepunahan hidup, dan seperti kisah Tonu Wujo yang yang dipenggal untuk kelangsungan hidup di Lamaholot. Yesus hadir dengan mujizat Allah. Bagaimana keraguan saya dapat juga dirasakan oleh Siti Maryam dalam Alkitab:
“Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk 1:34)
 
Tetapi tidak satupun yang dapat memecahkan misteri penyelamatan mulai dari proses kelahiran sampai pada proses kematian Yesus.
Simeon sebagai orang yang dipercayakan karena kesalehan telah meminta Maria  untuk lebih menyiapkan diri dalam proses selanjutnya. Sebagaimana persiapan yang dilakukan oleh Tonu Wujo dengan meninggalkan pesan “janganlah takut” sebab inilah kehendak Sang Pencipta dan Ismail yang memberikan keteguhan bagi Abraham, begitulah Simeon memberikan keteguhan :
“Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan – dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri – supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang”  (Luk 2:34-35).
Sebuah pedang akan menembus jiwamu sendiri. Kalimat yang mesti dipahami sebagai persiapan dimulainya kehidupan baru. Sebagai seorang Maria, tidak lebih kurang perasaan sebagai manusia mempertanyakan kesungguhan peristiwa ini seperti yang dilakukan oleh Abraham kepada Ismail. 
Sejenak memandang Manusia kain kafan” menjawab kesungguhan peristiwa ini. Peristiwa pengorbanan sebagai titik awal kehidupan baru. Yang fasik harus dikubur bersama jasad yang membujur kaku dalam makam. Sementara jiwa baru mesti bangkit. 
 ***
Yohanes (Yoh. 19:31-34) lebih lanjut mengisahkan dalam injilnya bahwa seorang prajurit menikam lambung Yesus dengan tombak dan segeralah keluar darah dan air. Itulah hari persediaan. 
Mungkinkah hari persediaan adalah pemaknaan lebih lanjut ketika Nuh menggiring seluruh kawanan ternak dan benih tumbuhan untuk masuk ke dalam bahtera? Ataukah persediaan dimulainya kehidupan baru dengan tumbuhnya tanaman padi setelah disirami darah Tonu Wujo? Ataukah kesungguhan hati seorang Ismail untuk menjawab mimpi Abraham dalam kisah pengorabanan Ismail?

 ***
Duduk di atas sebuah batu menunggu jiwa yang akan melayang adalah pilihan final seorang Tonu Wujo. Menanggalkan pakian agar darah tidak terhalang dari seorang Ismail adalah pilihan yang tepat. Demikian juga Nuh dalam proses tranformasi penyembahan kepada yang “ada” menjadi penyembahan yang Ilahi dengan cara yang lebih baru. Dan darah serta air yang keluar dari lambung Yesus adalah simbol persediaan hari baru setelah yang lama gagal melihat Yang Ilahi?
Itulah mengapa saya lebih suka duduk di atas batu untuk melihat Sang Pencipta ketimbang mencakar buku.***



Ferry Koten